#31 Story: Adore You - 1



Semua bermula dari kebodohanku...
Kamu adalah seseorang yang tak pernah kuperhitungkan untuk masuk ke dalam kehidupanku. Terlebih lagi untuk masuk ke dalam pintu hati ku yang tak terbiasa dengan kata cinta.
Aku tak pernah menginginkanmu untuk hadir di dalam mimpiku.
Tak pernah menginginkanmu untuk muncul dalam setiap lamunanku.
Aku juga tak pernah menginginkanmu untuk hadir dan memberikanku sebuah senyuman.
Hingga semua bermula dari kebodohanku...
Bodoh memang.
Saat itu, aku yang belum pernah menjamah smartphone, melakukan satu kebodohan dalam sebuah aplikasi chat bernama LINE, yang untungnya bisa kugunakan di handphone symbian bermerk tahan banting kesayanganku ini.
Salah chat... begitu alasanku dulu.
Terdengar bodoh dan seperti sengaja kan? Tapi sungguh, kenyataannya seperti itu. Aku tak tahu kenapa kamu ada di friendlist ku saat itu.
Norak? Memang iya.

"Sering juga gapapa."

Begitu jawabmu singkat diiringi sebuah emoticon kecil yang tersenyum.
Pikirku untuk apa, toh semuanya memang terjadi karena ketidaksengajaan ku saja.
Tapi aahhh, sial.
Ternyata aku sedikit tersenyum saat membaca tulisan singkatmu itu.
Malam itu juga, kamu dan aku melanjutkannya dengan obrolan ringan hingga kita terlarut di dalam rasa kantuk masing-masing, kemudian saling mengucapkan kata perpisahan.
Sejak itu...aku kembali mengabaikanmu. Seperti hubungan kita yang seharusnya.

Dan akhirnya di sebuah acara yang melibatkanmu dan diriku, kita berdua dipertemukan. Aku, yang saat itu ingin tersenyum kepadamu dikalahkan oleh rasa gengsi dan sifat dinginku yang amat sangat egois.

Kamu siapa? Kita memang tak pernah saling sapa kan?

Tatapanmu...
Kenapa tatapanmu menyiratkan begitu banyak tanya saat pandangan kita tak sengaja bertemu.
Aku benci itu.
Dan aku benci karena bahkan ekor mataku saja dapat melihat itu semua dengan jelas.
Aku masih menahan senyumanku untuk menyapamu dan lebih memilih untuk tetap bersikap dingin seperti biasanya.
Tapi aku sadari kamu masih menatapku dengan pandangan yang tak ku ketahui apa maksudnya.
Kamu tahu?
Bahkan sahabatku menyadarinya.

Tak berapa lama... Di sebuah kesempatan yang kembali mempertemukan kita berdua...
Kita kembali bertemu pandang.
Saling diam?
Sudah pasti. Itu kan ciri khas kita berdua.
Aku ingin sekali memulai pembicaraan denganmu.
Tapi aku takut. Takut dengan wajah dinginmu.
Lebih tepatnya, aku membencinya.
Aku benci raut wajah dinginmu yang sepertinya membatasi jarak kita berdua, seolah-olah melarang diriku untuk datang mendekatimu.
Dan saat itu kamu membantuku menggantungkan hiasan pohon natal yang kita buat bersama dengan yang lainnya. Dalam diam tentunya. Cih, saat itu aku benar-benar seperti orang bodoh.
Pohon natal yang berkelip indah itu memunculkan senyum puas dari teman-teman kita. Tapi keindahan itu menjadi bias dan tak terlihat lagi di mataku karena raut wajahmu yang menyebalkan itu.
Kamu, kenapa membuatku penasaran?
Kuakui saja, saat itu aku belum merasakan apapun terhadapmu.
Penasaran, hanya itu yang selalu menghantui diriku ketika melihatmu. Dan malam itu kuputuskan untuk membuang jauh rasa gengsiku hanya untuk bertanya apakah kamu merasa lelah.

"Lumayan."

Jawabmu singkat sambil memandang ke arah pohon natal.
Kamu tidak menatapku. Menyebalkan!
Saat itu juga, aku ingin menggaruk tajam wajah dinginmu yang kosong tanpa ekspresi. Tapi aku belum menyerah.

Di balik sebuah tembok kokoh yang membentang di antara kita berdua, ternyata masih ada sedikit celah yang bisa kutemukan. Sampai pada akhirnya, saling sapa, saling bertanya, bercanda hingga bertengkar satu sama lain mulai menjadi rutinitas kita berdua setiap hari. Walaupun hanya lewat chat.
Aku senang ketika kamu mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Kalimatmu sederhana dan biasa, tapi aku suka.
Rasa penasaran yang dulunya ada di antara aku dan kamu kini telah terbiasa dan berubah menjadi sebuah perasaan yang sulit untuk aku gambarkan. Hingga akhirnya, tanpa kusadari bibirku mengucapkan namamu di dalam doa ku kepada-Nya.
Tapi aku sadar, hanya aku yang merasakannya. Kamu...entahlah...
Saat kutanya pada sahabatku, mereka meyakinkanku bahwa kamu belum peka.
Tapi menurutku, kamu memang tidak merasakan apa-apa.

"Hello..."

Sebuah kata yang selalu diketik jelas oleh kedua ibu jariku yang menari bebas di keypad handphone di setiap malam dengan senyum sumringah.
Itu untuk kamu...
Dan balasanmu, singkat ataupun panjang, pasti selalu berhasil membuatku tersenyum.
Aku tak peduli apa yang kamu rasakan saat mengetik itu.
Yang kutahu hanyalah kesenanganku saja.
Kamu membalasnya...membalas chat ku.
Tapi ini menyedihkan... Kamu tak pernah bicara langsung kepadaku.
Kadang pikiran jahatku akan dirimu mulai mengusik. Mungkin saja kamu sedang tertawa mengejek membaca setiap kata-kataku yang kamu anggap menggelikan.

Di suatu hari, di sebuah kesempatan yang sepertinya kupaksakan, ku yakinkan hati ini untuk mulai bicara kepadamu. Kita terlarut dalam pembicaraan basi yang hanya berlangsung tak sampai 5 menit.
Kamu tahu? Aku gugup.
Malamnya, kamu menyapaku lebih dulu. Kali ini di sebuah aplikasi chat terkenal bernama Blackberry Messenger yang baru saja kumiliki.
Hey, mimpi apa aku semalam?
Kamu bahkan sangat jarang memulai pembicaraan di antara kita berdua. Dan malam ini, kamu menyapaku setelah tadi siang kita sempat bicara.
Apa aku boleh senang?
Bolehkan?
Biarkan aku tersenyum sebentar.
Ini membuatku gila.
Semenjak saat itu, aku mulai yakin bahwa aku menyukaimu. Dan sejak saat itu pula kamu mulai menjadi suatu obsesi tersendiri bagiku.

Di hari Jum'at, di pagi hari..
Kita berdua saling tersenyum lepas satu sama lain, tanpa banyak bicara. Dan aku sadar, kita saling mencuri pandang satu sama lain. Lagi-lagi aku tersenyum dalam hati. Tak apa kali ini aku tak bicara langsung kepadamu, karena senyumanmu hari ini sudah sangat cukup buatku.
Di sore harinya, kita kembali bertemu. Kali ini aku ingin menyapamu, tapi tetap saja aku tak sanggup.
Apa karena hari itu kamu terlihat terlalu tampan dengan kemeja hitammu yang rapi?
Atau karena orang-orang di sekeliling kita dan rasa malu ku yang amat besar menghambat semuanya.
Tak ada sapaan ataupun senyuman kali ini. Aku pulang dengan menggendong sebongkah rasa dongkol yang teramat besar di dalam hatiku karena aku tak sanggup menyapa dirimu. Dan aku kesal, kenapa kamu tidak memulainya lebih dulu. Ya, memulai untuk menyapaku lebih dulu.

Ah...aku tergoda.
Aku lupa bahwa ini hanya perasaan sepihak.
Hanya dari diriku untuk kamu.
Aku letih, lelah, dan mulai muak dengan semua kekakuan yang ada di antara kita.
Aku yang selalu diam-diam memperhatikanmu...
Aku yang selalu bertanya dalam hati apakah kamu juga memperhatikan aku...
Aku mulai bosan.
Aku benci dengan segala ketidak pastian ini.
Haruskah ini berakhir seperti ini?
Tanpa kejelasan...
Hanya dalam diam...
Tanpa aku tahu apa yang sebenarnya yang kamu rasakan akan kita. Akan aku dan kamu.
Tolong beritahu aku...
Seperti ini membuatku tersiksa...
Sungguh, sangat menyedihkan menyukai dirimu yang bahkan tak menoleh ke arahku sedikit saja.

Kuketik di malam hari untuk kamu yang aku benci karena berhasil mencuri perhatianku.

Share:

0 comments